Segalanya tentang Inspirasi, Kesehatan & Lifestyle


Kamis, 20 Agustus 2020

Malam 1 Suro Tradisi Keramat Masyarakat Jawa

| Kamis, 20 Agustus 2020

 

Kirab pusaka
Kirab pusaka malam 1 Suro Pura Mangkunegaran (humaspemkotsurakarta)

Dikutip dari Wikipedia[dot]org, bahwa Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro di mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender Jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).

Satu Suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap kramat terlebih bila jatuh pada jumat legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.

Awal mulanya, malam satu suro sudah ada di era Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo yang ingin memperluas ajaran agama Islam di Jawa dengan memadukan tradisi agama Islam dengan Jawa. Sehingga, beliau memadukan kalender Hijriah dengan kalender yang merupakan warisan Hindu. Maka, lahirlah tanggal 1 Suro yang bertepatan dengan 1 Muharram.

Tradisi malam satu suro biasanya diselingi dengan pembacaan doa, karena tradisi ini memberikan makna pada ketentraman batin serta keselamatan. Masyarakat Jawa juga meyakini selama bulan Suro harus terus bersikap waspada, dan bersyukur selalu ingat bahwa siapa kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan, waspada artinya harus waspada dengan godaan yang menyesatkan atau tipu dunia.

Masyarakat suku Jawa menyambut datangnya malam suro dengan beberapa tradisi, salah satu di antaranya ialah siraman malam yang dilakukan di pemandian atau langsung beratap langit gunanya untuk menyatukan jiwa raga dengan alam semesta.

Proses siraman ini menggunakan air yang dicampur dengan bunga tujuh rupa. Hal ini digunakan sebagai bentuk menyucikan diri atau biasa disebut dengan “sembah raga” orang Jawa meyakini bahwa tradisi ini dijadikan pertanda dimulainya hidup baru di tahun yang baru dan diiringi dengan tirakat menjaga dan menyucikan hati, pikiran serta panca indera dari hal yang negatif.

Dalam tradisi Jawa, malam Tahun Baru Islam dikenal dengan Malam 1 Suro. Selama ini Malam 1 Suro dikenal sakral dan penuh aura mistis. Bahkan  mitosnya Malam 1 Suro konon merupakan Lebarannya makluk gaib. Ada sebuah mitos bahwa malam satu suro menjadi malam buruk dalam satu tahun.

Tidak hanya itu, malam satu suro pun kerap dikaitkan dengan penampakan dan gangguan makhluk halus. Masyarakat kejawen jaman dahulu meyakini musibah dan bencana terjadi pada Malam 1 Suro. Malam 1 Suro juga dikenal sebagai tradisi ruwatan untuk membuang sial. Padahal sebenarnya malam 1 Suro adalah malam penuh kemuliaan untuk umat Islam.

Merilis tirto[dot]id bahwa Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010) berpandangan, faktor terpenting yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton.

Ia menulis, bahwa keraton sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, dan akhirnya terus diwariskan, dilanjutkan dari generasi ke generasi. Dalam konteks malam 1 Suro, seperti dicatat Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010), lingkungan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebenarnya memaknainya sebagai malam yang suci atau bulan penuh rahmat.

Pada malam tersebut mereka mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membersihkan diri melawan segala godaan hawa nafsu, dengan menjalankan tirakat dan lelaku atau perenungan diri. Salah satunya, selamatan khusus selama satu minggu berturut-turut dan tidak boleh berhenti.

Sementara Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, mencoba menjelaskan mengapa pada akhirnya Malam 1 Suro dimaknai secara menakutkan.

Menurutnya, ini adalah imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Pada kurun 1628-1629, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi.

Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di Tanah Jawa. Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid. Kemudian, untuk merangkul semua golongan yang terbelah, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.

Aji Saka & Raksasa

Seperti yang dikatakan di awal, Bulan Suro adalah bulan pertama dalam sistem penanggalan Jawa. Sistem penanggalan ini pertama kali diperkenalkan oleh Raja Mataram Islam, yaitu Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Mataram Islam berada dalam masa kejayaannya pada awal abad ke-17. Pertama kali didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan yang merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit. Maka pada awalnya wilayah kerajaan ini masih sebagian besar dipengaruhi oleh agama Hindu.

Sebagai seorang penganut agama Islam yang taat dan untuk memperluas kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung Hanyokrokusumo mencoba untuk mengkombinasikan penanggalan Islam atau hijriah yang banyak dianut oleh masyarakat pesisir, dengan penanggalan Hindu atau Saka yang masih dianut oleh masyarakat pedalaman beragama Hindu Kejawen. Hal ini juga dilakukan untuk memperkuat Kerajaan Mataram Islam dengan tradisi Jawa dan pengaruh Islam dari kekuatan asing.

Akhirnya Sultan Agung Hanyokrokusumo mengeluarkan dekrit yang menyatakan penggunaan sistem penanggalan Jawa di seluruh kerajaan, dimana sistem penanggalan ini merupakan gabungan dari sistem penanggalan Hijriah dan sistem penanggalan Saka.

Perhitungan tanggal dalam sistem Jawa menggunakan sistem perhitungan berdasarakan peredaran bulan seperti yang didasari dalam penanggalan Hijriah, namun angka tahun yang digunakan masih menggunakan penanggalan Saka. Sehingga bulan 1 Suro Jawa diterima sebagai awal tahun Jawa tapi tahunnya tidak dimulai dari tahun 1, melainkan dari tahun 1555 berdasarkan tahun penanggalan Saka.

Maka dari itu, 1 Suro dianggap sebagai hari yang sakral bagi masyarakat Jawa karena merupakan hari munculnya keputusan penting di Kerajaan Mataram Islam. Selain itu, berdasarakan buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa karya Muhammad Solikhin, dikatakan bahwa Bulan Suro merupakan bulan yang penting bagi penganut Kejawen karena dianggap sebagai bulan turunnya Aji Saka ke Pulau Jawa untuk membebaskan rakyat Jawa dari cengkraman raksasa serta merupakan bulan kelahiran huruf Jawa.

Hingga kini, malam 1 Suro masih diperingati oleh masyarakat Jawa di seluruh pulau. Walaupun tak semeriah di masa lalu, tradisi perayaan malam 1 Suro masih bisa Anda temukan di beberapa kota, seperti Kirab Kerbau Bule di Keraton Surakarta.

Dalam tradisi ini, masyarakat Surakarta akan mengarak Kebo Bule Kiai Selamet, atau kerbau yang dianggap keramat dalam kepercayaan Jawa dan dianggap sebagai pusaka keraton. Atau Anda juga bisa datang ke Keraton Yogyakarta untuk mengikuti Tradisi Mubeng Benteng, yaitu mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton tanpa diperkenankan untuk berbicara atau biasa dikenal dengan istilah tapa bisu mubeng benteng. ***

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar