Segalanya tentang Inspirasi, Kesehatan & Lifestyle


Selasa, 01 September 2020

Jejak Sejarah Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi

| Selasa, 01 September 2020

Blokagung
Pondok Pesantren Putri Darussalam Blokagung Banyuwangi (blokagung[dot]net)

Pondok Pesantren Darussalam Blokagung merupakan salah satu pesantren klasik yang terkenal di Bumi Blambangan Banyuwangi. Pesantren ini lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Blokagung, pasalnya pondok ini berada di Dusun Blokagung Desa Karangdoro Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi.

Dikutip dari Wikipedia, Kiai Muhyidin adalah sosok pendiri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung bersama KH. Mukhtar Syafaat Abdul Gofur. Namun tak banyak yang mengetahui, bahwa Pondok Pesantren Blokagung dirintis oleh dua sekawan yakni Kiai Mukhtar Syafaat dengan Kiai Muhyidin.

Merilis blokagung[dot]net, bahwa KH. Mukhtar Syafaat merupakan salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat.

Dikisahkan, suatu waktu Kiai Dimyati (putra KH. Ibrahim) mengalami jadzab atau nyeleneh. Ia mengusir Kiai Syafaat dan kedua sahabatnya yang bernama Mahardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya.

Saat Kiai Syafaat sedang mengajar, Kiai Dimyati (syarif) melemparinya dengan maksud agar menggalkan pondok. Akhirnya, beliau pun meninggalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santrinya yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.

Perjuangan dakwah dan mengajarkan ilmu agama pun dimulai dari mushola milik sang kakak. Diawali dengan mengajarkan alQuran dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar, dan diikuti oleh para santri yang dulu pernah belajar di Pondok Pesantren Jalen. Beberapa bulan berikutnya, mushola tersebut tidak lagi dapat menampung para santri yang ingin menimba ilmu agama kepadanya.

Melihat kondisi yang demikian, Kiai Syafaat merasa prihatin sehingga berkeinginan untuk pindah ke luar daerah Blokagung. Namun oleh Kiai Sholehan dilarang dan bahkan kemudian dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Maryam, putri dari bapak Karto Diwiryo Abdul Hadi.

Setelah menikah, beliau pun pindah ke rumah mertuanya. Di tempat yang baru ini juga sudah ada mushola dengan ukuran 7x7 meter persegi. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah santri yang belajar bertambah banyak sehingga mushola ini juga tidak cukup untuk menampung santri.

Kemudian, muncullah ide untuk mendirikan sebuah masjid yang lebih besar untuk keperluan salat dan belajar. Beliau memerintahkan para santri untuk mengumpulkan bahan bangunan untuk keperluan pendirian masjid, waktu itu terjadi pada tanggal 15 Januari 1951.

Dalam perkembangan selanjutnya, momen inilah yang dijadikan sebagai peringatan berdirinya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi. Dalam mendirikannya, beliau dibantu oleh temannya Kiai Muhyidin dan Kiai Mualim.

KH. Mukhtar Syafaat Ghofur

Itulah sekilas latar belakang KH. Mukhtar Syafaat Ghofur seorang ulama dan guru panutan umat. Beliau lahir di Dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kecamatan Ploso Wetan, Kediri pada 6 Maret 1919.

Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-istri KH. Abdul Ghofur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH. Mukhtar Syafaat merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, beliau merupakan putra dari Syafaat bin Kiai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, Nyai Sangkep binti Kiai Abdurrohman bin Kiai Abdullah (keturunan prajurit Untuung Suropati).

Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafaat telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam.

Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh ustad H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca alQuran. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafaat kemudian menhadi ke Kiai Hasan Abdi selama 3 tahun di Desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.

Selepas di khitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasyim Asyari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri lain mendalami ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir alQuran dan Akhlaq Tasawuf.

Setelah 6 tahun berlalu, pada 1936 beliau pun diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pondok. Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena beliau ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Mnhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.

Selama menjadi santri di sana, Syafaat sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, akhirnya pindah lagi ke Pondok Pesantren Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH. Ibrahim. Di sini, selain belajar ia juga dipercaya oleh KH. Ibrahim untuk mengajar ke santri lain.

Di sini juga, Syafaat mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumuddin karya Syeik Imam Al Ghozali.

Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, melainkan juga ia praktekkan secara langsung seperti mandi, salat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Pondok Pesantren Tholabah ia senantiasa salat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab” yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.

Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Muhktar Syafaat senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafaat adalah benar-benar gila, praktis keberatan bila dijodohkan.

Pengembaraan Kiai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Pondok Pesantren Tasmirit Tholabah, KH. Muallim Syarkowi menuturkan keadaannya, “KH. Syafaat (alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangat menderita. Ia jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Di samping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji”.

Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, beliau tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI. Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepadanya.

Pada jaman pendudukan Jepang, Syafaat tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya.  Dalam gerakan ini, beliau diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan Teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.

Saat Belanda mendarat di Pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafaat tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafaat juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande Kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kiai Muhammad dan Kiai Musaddad.

Pengobatan Islami

Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh Pesantren KH Syafaat yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.

Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafaat menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain.

Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafaat kepada keluarga dan para santri.

KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qana’ah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.

Bahkan beliau dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.

Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat diberikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafaat dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).

Suatu ketika beliau bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafaat bertanya, “Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.

Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, beliau juga aktif dalam Jami’iyah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Musytasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.

Beliau pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.

Blokagung
Masjid Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi (blokagung[dot]net)

Tradisi Salat Tasbih

Sebagai salah satu pesantren klasik. Selain mengajarkan ilmu agama, di sini juga tak ketinggalan memiliki salah satu tradisi amaliyah. Seperti halnya, pada malam Jumat setelah Ahad Legi (12/10). Seluruh santri melaksanakan Salat Tasbih yang dilaksanakan di Masjid lantai 1 setelah ba’da Isya’. Maka, pihak pesantren sudah memberitahukan kepada seluruh santri untuk turut melaksanakan Salat Tasbih.

Sebelum dimulai, para santri mendengarkan dengan khidmat tausiah dari Agus Ahmad Supriyadi mengenai keutamaan Salat Tasbih, yang beliau kutip dari hadist Rasullullah SAW dan diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, “Manusia itu kalau bisa setiap hari melakukan Salat Tasbih, kalau gak bisa seminggu sekali, kalau gak bisa sebulan sekali, kalau gak bisa setahun sekali, kalau masih belum bisa seumur hidup sekali,” tutur beliau.

Kegiatan ini pun berdasarkan musyawarah pengurus pesantren dan sudah disetujui oleh dewan pengasuh.

Jumlah rakaat ada 4. Ketika dilaksanakan waktu siang langsung satu salam. Sedangkan, ketika dilaksanakan sewaktu malam 2 kali salam. Dan bacaan Tasbih yang dibaca yaitu “Subhanallah wal hamdulillah wa laailaha illah wa allahu akbar” dan dibaca 150 kali dalam 4 rakaat tersebut.

Kaifiyyah Salat Tasbih, rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun dan kedua membaca surat Al-Ikhlas. 15 tasbih pertama dibaca setelah surat Al-Kafirun pada rakaat pertama, dan setelah membaca doa ruku’ tasbih dibaca 10 kali, begitupun setelah membaca doa I’tidal, sujud pertama, duduk di antara 2 sujud, sujud kedua, dan duduk istirahat tasbih dibaca sebanyak 10 kali. Ketika tahiyyat akhir, tasbih yang dibaca 10 kali itu sebelum salam.

Setelah selesai, seluruh santri beraktifitas seperti biasanya lagi. Harapan pengurus adalah membiasakan santri untuk melakukan amalan ini ketika masih di pesantren dan bisa istiqomah sampai pulang dari pesantren, karena semua itu berawal dari kebiasaan. ***

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar