Pondok Pesantren Putri Darussalam Blokagung Banyuwangi (blokagung[dot]net) |
Pondok Pesantren Darussalam Blokagung merupakan salah satu pesantren klasik yang terkenal di Bumi Blambangan Banyuwangi. Pesantren ini lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Blokagung, pasalnya pondok ini berada di Dusun Blokagung Desa Karangdoro Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi.
Dikutip dari
Wikipedia, Kiai Muhyidin adalah sosok pendiri Pondok Pesantren Darussalam
Blokagung bersama KH. Mukhtar Syafaat Abdul Gofur. Namun tak banyak yang
mengetahui, bahwa Pondok Pesantren Blokagung dirintis oleh dua sekawan yakni
Kiai Mukhtar Syafaat dengan Kiai Muhyidin.
Merilis blokagung[dot]net,
bahwa KH. Mukhtar Syafaat merupakan salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi
ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat.
Dikisahkan,
suatu waktu Kiai Dimyati (putra KH. Ibrahim) mengalami jadzab atau nyeleneh. Ia mengusir
Kiai Syafaat dan kedua sahabatnya yang bernama Mahardi dan Keling. Ketiganya adalah
santri yang dibencinya.
Saat Kiai
Syafaat sedang mengajar, Kiai Dimyati (syarif) melemparinya dengan maksud agar menggalkan
pondok. Akhirnya, beliau pun meninggalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang
diikuti oleh salah satu santrinya yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke
kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Perjuangan dakwah
dan mengajarkan ilmu agama pun dimulai dari mushola milik sang kakak. Diawali dengan
mengajarkan alQuran dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat
sekitar, dan diikuti oleh para santri yang dulu pernah belajar di Pondok
Pesantren Jalen. Beberapa bulan berikutnya, mushola tersebut tidak lagi dapat
menampung para santri yang ingin menimba ilmu agama kepadanya.
Melihat kondisi
yang demikian, Kiai Syafaat merasa prihatin sehingga berkeinginan untuk pindah
ke luar daerah Blokagung. Namun oleh Kiai Sholehan dilarang dan bahkan kemudian
dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Maryam, putri dari bapak Karto
Diwiryo Abdul Hadi.
Setelah menikah,
beliau pun pindah ke rumah mertuanya. Di tempat yang baru ini juga sudah ada
mushola dengan ukuran 7x7 meter persegi. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah
santri yang belajar bertambah banyak sehingga mushola ini juga tidak cukup
untuk menampung santri.
Kemudian,
muncullah ide untuk mendirikan sebuah masjid yang lebih besar untuk keperluan
salat dan belajar. Beliau memerintahkan para santri untuk mengumpulkan bahan
bangunan untuk keperluan pendirian masjid, waktu itu terjadi pada tanggal 15
Januari 1951.
Dalam perkembangan
selanjutnya, momen inilah yang dijadikan sebagai peringatan berdirinya Pondok
Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi. Dalam mendirikannya, beliau dibantu
oleh temannya Kiai Muhyidin dan Kiai Mualim.
KH. Mukhtar Syafaat Ghofur
Itulah sekilas
latar belakang KH. Mukhtar Syafaat Ghofur seorang ulama dan guru panutan umat. Beliau
lahir di Dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kecamatan Ploso Wetan, Kediri pada 6
Maret 1919.
Ia adalah
putra keempat dari pasangan suami-istri KH. Abdul Ghofur dan Nyai Sangkep. Kalau
dilihat dari silsilah keturunan, KH. Mukhtar Syafaat merupakan salah seorang
keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, beliau merupakan putra dari
Syafaat bin Kiai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit
Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, Nyai Sangkep binti Kiai Abdurrohman bin
Kiai Abdullah (keturunan prajurit Untuung Suropati).
Sejak usia
kanak-kanak (4 tahun), Syafaat telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta
terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam.
Setiap sore
hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh ustad H.
Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca alQuran. Pada tahun 1925 (usia 6
tahun), Syafaat kemudian menhadi ke Kiai Hasan Abdi selama 3 tahun di Desa
Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas di
khitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan menimba ilmu di Pondok
Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasyim Asyari. Di pesantren
ini, ia seperti umumnya santri lain mendalami ilmu agama Islam seperti Ilmu
Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir alQuran dan Akhlaq Tasawuf.
Setelah 6
tahun berlalu, pada 1936 beliau pun diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya
yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pondok. Permintaan tersebut
ditampiknya secara halus, karena beliau ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu
pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada
1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Mnhajut Thulab, Sumber
Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi
santri di sana, Syafaat sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, akhirnya pindah
lagi ke Pondok Pesantren Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH. Ibrahim. Di sini,
selain belajar ia juga dipercaya oleh KH. Ibrahim untuk mengajar ke santri
lain.
Di sini
juga, Syafaat mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya
Ulumuddin karya Syeik Imam Al Ghozali.
Pemahaman ini
tidak sebatas pelajaran teori saja, melainkan juga ia praktekkan secara
langsung seperti mandi, salat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi,
ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat
auratnya. Selain itu, selama di Pondok Pesantren Tholabah ia senantiasa salat
berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab” yaitu santri
yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.
Selama masih
menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Muhktar Syafaat senantiasa
memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia
oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat
sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan
berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian tidak wajar. Dengan
demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafaat adalah
benar-benar gila, praktis keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan
Kiai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut
perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan
kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Pondok
Pesantren Tasmirit Tholabah, KH. Muallim Syarkowi menuturkan keadaannya, “KH.
Syafaat (alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng
Banyuwangi, sangat menderita. Ia jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Di
samping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar
sambil bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur
kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji”.
Walaupun
dalam kondisi yang memprihatinkan, beliau tetap bersikeras untuk mendalami
ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia
juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI. Oleh
teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam
penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu
kepadanya.
Pada jaman
pendudukan Jepang, Syafaat tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang
bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta
bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. Dalam gerakan ini, beliau diwajibkan mengikuti
kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan Teluk
Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan
tentara Jepang.
Saat Belanda
mendarat di Pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafaat tidak tinggal diam.
Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafaat
juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang
gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande Kecamatan
Pesangaran yang dipimpin Kiai Muhammad dan Kiai Musaddad.
Pengobatan Islami
Lepas dari
alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis
berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat,
pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah
santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan
pengasuh Pesantren KH Syafaat yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan
umat.
Ia juga
kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara
menulis lafadz ya’lamuuna, selepas
itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku
sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafaat menanyai pasien, apakah masih sakit
atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf
Mim juga akan ditancapkan paku dan
dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain.
Konon,
pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering
dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga
rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian
mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian,
silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka
dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian
pesan KH. Syafaat kepada keluarga dan para santri.
KH Syafaat
juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qana’ah, teguh menjaga muru’ah
(harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang
yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas
beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau
menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak
tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan beliau
dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang
kepadanya. Pernah suatu saat akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah
ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan
ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar
makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian,
ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah
empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para
pengemis yang tidak kebagian.
Tidak hanya
itu, sering uang bisyaroh selepas
mengisi pengajian di banyak tempat diberikan langsung kepada orang-orang yang
tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan
akan harta dan ilmu, KH Syafaat dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).
Suatu ketika
beliau bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di
Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar
diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk.
Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafaat bertanya, “Batu bata itu milik
siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata
tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif
dalam kegiatan kemasyarakatan, beliau juga aktif dalam Jami’iyah Keagamaan
Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting
sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Musytasyar wilayah
Banyuwangi, Jawa Timur.
Beliau pada
hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak
(10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4
putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah
disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian
dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren
Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.
Masjid Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi (blokagung[dot]net)
Tradisi Salat Tasbih
Sebagai
salah satu pesantren klasik. Selain mengajarkan ilmu agama, di sini juga tak ketinggalan
memiliki salah satu tradisi amaliyah. Seperti halnya, pada malam Jumat setelah
Ahad Legi (12/10). Seluruh santri melaksanakan Salat Tasbih yang dilaksanakan
di Masjid lantai 1 setelah ba’da Isya’. Maka, pihak pesantren sudah memberitahukan
kepada seluruh santri untuk turut melaksanakan Salat Tasbih.
Sebelum dimulai,
para santri mendengarkan dengan khidmat tausiah dari Agus Ahmad Supriyadi
mengenai keutamaan Salat Tasbih, yang beliau kutip dari hadist Rasullullah SAW dan
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, “Manusia itu kalau bisa setiap hari melakukan Salat
Tasbih, kalau gak bisa seminggu sekali, kalau gak bisa sebulan sekali, kalau
gak bisa setahun sekali, kalau masih belum bisa seumur hidup sekali,” tutur
beliau.
Kegiatan ini
pun berdasarkan musyawarah pengurus pesantren dan sudah disetujui oleh dewan pengasuh.
Jumlah
rakaat ada 4. Ketika dilaksanakan waktu siang langsung satu salam. Sedangkan,
ketika dilaksanakan sewaktu malam 2 kali salam. Dan bacaan Tasbih yang dibaca
yaitu “Subhanallah wal hamdulillah wa
laailaha illah wa allahu akbar” dan dibaca 150 kali dalam 4 rakaat
tersebut.
Kaifiyyah Salat
Tasbih, rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun dan kedua membaca surat
Al-Ikhlas. 15 tasbih pertama dibaca setelah surat Al-Kafirun pada rakaat
pertama, dan setelah membaca doa ruku’ tasbih dibaca 10 kali, begitupun setelah
membaca doa I’tidal, sujud pertama, duduk di antara 2 sujud, sujud kedua, dan
duduk istirahat tasbih dibaca sebanyak 10 kali. Ketika tahiyyat akhir, tasbih
yang dibaca 10 kali itu sebelum salam.
Setelah selesai,
seluruh santri beraktifitas seperti biasanya lagi. Harapan pengurus adalah
membiasakan santri untuk melakukan amalan ini ketika masih di pesantren dan
bisa istiqomah sampai pulang dari pesantren, karena semua itu berawal dari
kebiasaan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar