Bursa buku bekas di Pasar Blauran (bukuonlinestore[dot]com) |
Selain dikenal sebagai Kota Pahlawan, Surabaya juga terkenal sebagai Kota Perdagangan. Disebut Kota Dagang karena aktifitas perdagangan yang ada di Surabaya bergerak serta mengikuti zaman. Hasil bumi yang kaya dan melimpah menjadikan metropolitan kedua di Indonesia ini sebagai sentra perdagangan di Indonesia.
Perdagangan di
Surabaya sudah aktif sejak zaman kolonial Belanda. Bahkan, saat ini terus berkembang
dengan lebih modern.
Menurut Sejarawan
Universitas Airlangga Surabaya, Purnawan Basundoro yang dikutip dari
liputan6[dot]com, mengatakan bahwa perdagangan di Surabaya sudah mulai
menggeliat sejak tanam paksa. Pada abad ke-19, terdapat kebijakan tentang
industrialisasi yang membuat Surabaya tumbuh dan berkembang.
Menurut Purnawan,
saat itu Surabaya menjadi pelabuhan utama dari sentra perkebunan dan liberasi
ekonomi meningkat.
Kemudian pembangunan
fasilitas perdagangan ritel (pertokoan) dan pasar secara formal ditingkatkan
pada saat pemerintah Gemeente Soeraabaia berjalan hingga 1940, Surabaya mulai
diperluas ke arah selatan.
Beberapa fasilitas
yang terbangun di antaranya adalah Tunjungan, Pasar Pabean, Pasar Pegirian,
Pasar Genteng, Pasar Tunjungan, dan Pasar Blauran.
Berbicara tentang
Pasar Blauran, pasar ini satu di antara wilayah yang menarik dengan pusat toko
buku bekas terbesar di Surabaya.
Berdasarkan refrensi
dari buku Soerabaia in The Olden Days, yang dikutip dari tribunnews[dot]com,
bahwa nama Blauran memiliki sejarah nama dua versi.
Pertama,
nama Blauran terinspirasi dari nama sebuah gunung. Jadi tak heran jika kalian
menemukan nama jalan di sekitar Blauran yang menggunakan nama gunung. Seperti Jalan
Kawi, Jalan Arjuno, Jalan Ijen, dan lainnya.
Kedua, nama
ini berasal dari Bahasa Belanda yakni blauw
yang berarti biru. Konon, katanya orang-orang yang tinggal di daerah Blauran
mewarnai pagar mereka dengan warna biru.
Jadi mereka
menyebutnya dengan daerah Blauw yang sekarang dikenal dengan nama Blauran.
Sementara itu,
menurut Pak Hakim, pedagang buku di Pasar Blauran sejak 1994, merilis
soerbeje[dot]blogspot[dot]com, menjelaskan bahwa kata Blauran berasal dari kata
Blau yang artinya pagar dan ran yang berarti pasar. Jadi, Blauran adalah pagar
yang mengelilingi pasar.
Penjual menyatakan
bahwa terdapat perbedaan antara zaman dahulu dengan zaman sekarang. Perbedaan ini
ditunjukkan dengan bahwa dahulu terdapat harga keluarga maksudnya harga buku
atau barang-barang yang dijual di Pasar Blauran dulu bisa ditawar, tetapi
sekarang ini harga buku yang dijual sudah ada standar harga jualnya berbentuk
seperti Koran.
Sekarang ini,
harga-harga buku yang dijual di Pasar Blauran rata-rata harganya sama dengan
yang dijual di Toko Buku Uranus.
Berdasarkan sumber
dari Litbang di Kantor Pasar Blauran, Blauran berasal dari dua suku kata
berbahasa Belanda, yakni blauwe (biru)
dan rand (renda). Sebab, dulu sekitar
1700 di kompleks Blauran tersebut didirikan tembok panjang putih. Tembok
setinggi 5 meter tersebut menjadi pembatas rumah golongan pengusaha Tionghoa
yang kaya raya dengan warga pribumi.
Agar tembok
tersebut manis dipandang, sehingga para pengusaha mengecatkan renda biru
ditembok itu, sehingga menjadi Blauran.
Namun, ada
versi lain tentang nama Blauran menurut Romo Bintarti pada tahun 1964 (seperti
artikel yang dikutip oleh Sarkawi B. Husain, sebagai dosen sejarah Unair, dalam
tulisannya yang berjudul Sepanjang Jalan Kenangan: Makna dan Perebutan Simbol
Nama Jalan di Kota Surabaya).
Asal mula
nama kampong itu adalah kata Balur
atau Mbalur yang berarti mengeringkan
ikan. Sebagai tempat mengeringkan ikan, warga lebih enak menyebut nama mblauran.
Selain nama,
ada persoalan histeris yang menarik pada kampung-kampung tersebut. Benih-benih
nasionalisme Arek Surabaya juga bermula dari kompleks tersebut.
Pendatang luar
kota saat ini lebih menyebut bertandang ke Bubutan Golden Junction daripada
menyebut kewilayahan yang memiliki nilai historis kuat.
Pendirian pusat
perbelanjaan tak terasa juga menenggelamkan perdagangan tradisional di kompleks
Blauran. Padahal, sejak zaman Kolonial Belanda, lingkungan itu dikenal sebagai
pusat perbelanjaan pribumi.
Menurut Achudiat,
Blauran adalah daerah Keraton. Di sekitarnya tumbuh kampung-kampung yang dulu
merupakan kampung para kerabat serta abdi kerajaan. Pusatnya terletak di
alun-alun Contong. Kawasan sekitarnya seperti Bubutan, Kranggan, Blauran, dan
Maspati adah daerah sekitar pusat pemerintahan.
Letak pasar
ini berada tepat di depan BG Junction Surabaya, tepatnya di perempatan Jalan
Kranggan Bubutan dan Blauran.
Pasar yang
keberadaannya sejak jaman Belanda ini hingga kini masih eksis menjadi pasar
barang eceran terlengkap di Kota Pahlawan.
Yang paling
menonjol dari Pasar Blauran dan menjadikannya tak pernah sepi pengunjung adalah
menjadi sentra penjualan berbagai keperluan sekolah. Seperti sepatu, tas alat
tulis, seragam, dan buku dengan harga murah serta berkualitas bagus.
Berbagai macam
buku bekas pun tersedia di sini adan menempati stan tersendiri. Buku-buku paket
pun tersedia dari tingkat dasar, SLTA hingga perguruan tinggi.
Menjelajahi Pasar Blauran tak lengkap apabila tidak melihat seluruh isinya. Di tempat
ini, terdapat 3 lantai. Untuk lantai pertama, terdiri dari toko-toko yang
menjual buku-buku keperluan sekolah dan toko elektronik, arloji, dan jam
dinding serta jajanan khas Jawa Timur.
Untuk masakannya,
mulai dari lontong balap, rujak cingur, kikil, gado-gado, nasi rawon, dan masih
banyak lagi yang tak kalah legendarisnya.
Lantai kedua,
terdiri dari toko sepatu merk local dan juga perlengkapan sekolah. Serta lantai
3, terdiri dari toko yang menjual berbagai macam pakaian jadi dengan kualitas
menengah. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar