Segalanya tentang Inspirasi, Kesehatan & Lifestyle


Kamis, 03 September 2020

Jejak Sejarah Nama Pasar Blauran Surabaya

| Kamis, 03 September 2020

blauran
Bursa buku bekas di Pasar Blauran (bukuonlinestore[dot]com)

Selain dikenal sebagai Kota Pahlawan, Surabaya juga terkenal sebagai Kota Perdagangan. Disebut Kota Dagang karena aktifitas perdagangan yang ada di Surabaya bergerak serta mengikuti zaman. Hasil bumi yang kaya dan melimpah menjadikan metropolitan kedua di Indonesia ini sebagai sentra perdagangan di Indonesia.

Perdagangan di Surabaya sudah aktif sejak zaman kolonial Belanda. Bahkan, saat ini terus berkembang dengan lebih modern.

Menurut Sejarawan Universitas Airlangga Surabaya, Purnawan Basundoro yang dikutip dari liputan6[dot]com, mengatakan bahwa perdagangan di Surabaya sudah mulai menggeliat sejak tanam paksa. Pada abad ke-19, terdapat kebijakan tentang industrialisasi yang membuat Surabaya tumbuh dan berkembang.

Menurut Purnawan, saat itu Surabaya menjadi pelabuhan utama dari sentra perkebunan dan liberasi ekonomi meningkat.

Kemudian pembangunan fasilitas perdagangan ritel (pertokoan) dan pasar secara formal ditingkatkan pada saat pemerintah Gemeente Soeraabaia berjalan hingga 1940, Surabaya mulai diperluas ke arah selatan.

Beberapa fasilitas yang terbangun di antaranya adalah Tunjungan, Pasar Pabean, Pasar Pegirian, Pasar Genteng, Pasar Tunjungan, dan Pasar Blauran.

Berbicara tentang Pasar Blauran, pasar ini satu di antara wilayah yang menarik dengan pusat toko buku bekas terbesar di Surabaya.

Berdasarkan refrensi dari buku Soerabaia in The Olden Days, yang dikutip dari tribunnews[dot]com, bahwa nama Blauran memiliki sejarah nama dua versi.

Pertama, nama Blauran terinspirasi dari nama sebuah gunung. Jadi tak heran jika kalian menemukan nama jalan di sekitar Blauran yang menggunakan nama gunung. Seperti Jalan Kawi, Jalan Arjuno, Jalan Ijen, dan lainnya.

Kedua, nama ini berasal dari Bahasa Belanda yakni blauw yang berarti biru. Konon, katanya orang-orang yang tinggal di daerah Blauran mewarnai pagar mereka dengan warna biru.

Jadi mereka menyebutnya dengan daerah Blauw yang sekarang dikenal dengan nama Blauran.

Sementara itu, menurut Pak Hakim, pedagang buku di Pasar Blauran sejak 1994, merilis soerbeje[dot]blogspot[dot]com, menjelaskan bahwa kata Blauran berasal dari kata Blau yang artinya pagar dan ran yang berarti pasar. Jadi, Blauran adalah pagar yang mengelilingi pasar.

Penjual menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara zaman dahulu dengan zaman sekarang. Perbedaan ini ditunjukkan dengan bahwa dahulu terdapat harga keluarga maksudnya harga buku atau barang-barang yang dijual di Pasar Blauran dulu bisa ditawar, tetapi sekarang ini harga buku yang dijual sudah ada standar harga jualnya berbentuk seperti Koran.

Sekarang ini, harga-harga buku yang dijual di Pasar Blauran rata-rata harganya sama dengan yang dijual di Toko Buku Uranus.

Berdasarkan sumber dari Litbang di Kantor Pasar Blauran, Blauran berasal dari dua suku kata berbahasa Belanda, yakni blauwe (biru) dan rand (renda). Sebab, dulu sekitar 1700 di kompleks Blauran tersebut didirikan tembok panjang putih. Tembok setinggi 5 meter tersebut menjadi pembatas rumah golongan pengusaha Tionghoa yang kaya raya dengan warga pribumi.

Agar tembok tersebut manis dipandang, sehingga para pengusaha mengecatkan renda biru ditembok itu, sehingga menjadi Blauran.

Namun, ada versi lain tentang nama Blauran menurut Romo Bintarti pada tahun 1964 (seperti artikel yang dikutip oleh Sarkawi B. Husain, sebagai dosen sejarah Unair, dalam tulisannya yang berjudul Sepanjang Jalan Kenangan: Makna dan Perebutan Simbol Nama Jalan di Kota Surabaya).

Asal mula nama kampong itu adalah kata Balur atau Mbalur yang berarti mengeringkan ikan. Sebagai tempat mengeringkan ikan, warga lebih enak menyebut nama mblauran.

Selain nama, ada persoalan histeris yang menarik pada kampung-kampung tersebut. Benih-benih nasionalisme Arek Surabaya juga bermula dari kompleks tersebut.

Pendatang luar kota saat ini lebih menyebut bertandang ke Bubutan Golden Junction daripada menyebut kewilayahan yang memiliki nilai historis kuat.

Pendirian pusat perbelanjaan tak terasa juga menenggelamkan perdagangan tradisional di kompleks Blauran. Padahal, sejak zaman Kolonial Belanda, lingkungan itu dikenal sebagai pusat perbelanjaan pribumi.

Menurut Achudiat, Blauran adalah daerah Keraton. Di sekitarnya tumbuh kampung-kampung yang dulu merupakan kampung para kerabat serta abdi kerajaan. Pusatnya terletak di alun-alun Contong. Kawasan sekitarnya seperti Bubutan, Kranggan, Blauran, dan Maspati adah daerah sekitar pusat pemerintahan.

Letak pasar ini berada tepat di depan BG Junction Surabaya, tepatnya di perempatan Jalan Kranggan Bubutan dan Blauran.

Pasar yang keberadaannya sejak jaman Belanda ini hingga kini masih eksis menjadi pasar barang eceran terlengkap di Kota Pahlawan.

Yang paling menonjol dari Pasar Blauran dan menjadikannya tak pernah sepi pengunjung adalah menjadi sentra penjualan berbagai keperluan sekolah. Seperti sepatu, tas alat tulis, seragam, dan buku dengan harga murah serta berkualitas bagus.

Berbagai macam buku bekas pun tersedia di sini adan menempati stan tersendiri. Buku-buku paket pun tersedia dari tingkat dasar, SLTA hingga perguruan tinggi.

Menjelajahi Pasar Blauran tak lengkap apabila tidak melihat seluruh isinya. Di tempat ini, terdapat 3 lantai. Untuk lantai pertama, terdiri dari toko-toko yang menjual buku-buku keperluan sekolah dan toko elektronik, arloji, dan jam dinding serta jajanan khas Jawa Timur.

Untuk masakannya, mulai dari lontong balap, rujak cingur, kikil, gado-gado, nasi rawon, dan masih banyak lagi yang tak kalah legendarisnya.

Lantai kedua, terdiri dari toko sepatu merk local dan juga perlengkapan sekolah. Serta lantai 3, terdiri dari toko yang menjual berbagai macam pakaian jadi dengan kualitas menengah. ***

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar