Suasana Selokambang Lumajang (IG) |
Masa pandemi seperti sekarang, objek wisata alam menjadi pilihan yang tepat untuk menghilangkan rasa penat, jenuh bahkan mengusir kebosanan. Tidak hanya itu, selain mengusir penat juga dapat sebagai alternatif sebagai terapi.
Salah satunya yakni objek wisata Pemandian Selokambang di
Lumajang. Wisata alam Selokambang merupakan salah satu destinasi wisata legenda
yang dimiliki Lumajang, Jatim. Sebab, wisata tersebut konon berasal dari danau
kecil yang terus melebar akibat batu apung yang mengambang di atasnya. Pemandian
tersebut juga dipercaya bisa menyembuhkan sejumlah penyakit dengan cara terapi.
Meski hari biasa, pemandian alam ini tetap ramai pengunjung.
Jernih dan alaminya air menjadi pemikat wisatawan untuk pergi ke sana. Bahkan,
sebagian orang mempercayainya sebagai salah satu terapi kulit hingga linu-linu.
Menelusuri serta menuju ke lokasi pemandian tidak begitu
sulit, sekitar 7 kilometer dari jantung kota. Butuh waktu kurang lebih 15 menit
untuk bisa sampai ke sana. Bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Tempatnya yang luas dan banyaknya destinasi wisata ini sangat cocok dijadikan
tempat liburan keluarga.
Bagi masyarakat yang mencintai suasana alam, pemandian ini
menjadi solusinya. Rimbunnya pepohonan sekitar kolam pemandian menyelimuti
pandangan mata. Sangat nyaman digunakan sebagai tempat beristirahat dari
penatnya bekerja. Bisa duduk-duduk di pelataran atas kolam, hingga di bibir
kolam.
Belum lagi, adanya penghijauan taman di sekitar kolam hingga
tersedianya kolam kecil khusus ikan koi. Termasuk ada penangkaran beberapa
hewan. Kondidi itu menguatkan gambaran suasana berlibur ke tempat ekowisata.
Tampak beberapa orang terlihat selesai berenang dan mandi di
kolang utama yang berada di sisi barat dan timur. Airnya pun jernih dan
pastinya segar. Seakan mandi air dari sumbernya.
Dikutip dari tadatoday[dot]com, segar dan jernihnya air di
Pemandian Selokambang dapat dimanfaatkan sebagai terapi rematik. “Kalau sudah
berenang di sini linu-linu Saya hilang,” ungkap warga +62 yang sering mengalami
linu-linu, dan menjadikan Pemandian Selokambang sebagai obat alternatif dirinya
bersama-sama warga lainnya yang rutin terapi tiga kali seminggu.
Soal tempat yang alami, memang patut menjadi tujuan wisata
alam pilihan. Udara di sekitar lokasi juga masih bersih. Pohon yang besar
mengelilingi pemandian menjadi salah satu efek dari suasana yang tersaji. Masyarakat
tidak hanya bisa menikmati segarnya air melainkan pula udaranya yang juga dapat
digunakan sebagai terapi kesehatan agar hidup lebih sehat.
Keberadaan Pemandian Selokambang tak lepas dari legenda
puluhan tahun silam. Seperti dikutip dari wisatalumajang[dot]com, bahwa tempat ini
diberi nama Selokambang (Selo artinya batu, kambang artinya terapung).
Dikisahkan, pada puluhan tahun telah berlalu Mpu Toposono
telah meninggal, para cantrik kembali ke rumah masing-masing, danau kecil tempat
terapung itu semakin melebar, batu terapung itu lama-kelamaan habis terguyur
oleh air hujan. Tinggallah danau yang sering dikunjungi penduduk digunakan
untuk mandi.
Sebelumnya, kira-kira 700 tahun silam wilayah yang sekarang
ini disebut Lumajang diperintah oleh Adipati Wiraraja sebagai hadiah dari Raja
Majapahit kepada Arya Wiraraja yang telah banyak berjasa kepada Majapahit.
Kediaman Arya Wiraraja oleh benteng yang dipakai oleh
prajurit Kadipaten berlatih keprajuritan dan saat ini daerah tersebut kita
namakan Desa Biting (asal kata Biteng artinya benteng).
Setelah 35 hari Adipati Arya Wiraraja meninggal, daerah itu
diserang oleh prajurit Majapahit yang saat itu masyarakat Biting tidak
mengadakan perlawanan sama sekali, akhirnya mereka mengungsi keluar daerah yang
mereka anggap aman di antara hutan-hutan kecil sekitar daerah tersebut.
Saat ini daerah hutan itu dinamakan Kabonarang, sedangkan
daerah bendungan yang juga di sekitar hutan tersebut sekarang ini kita sebut
Dawuhan Lor (Dawuhan artinya bendungan yang letaknya di sebelah utara desa itu).
Diceritakan pula bahwa pada saat itu keluarga Mpu Nambi (putra Arya Wiraraja)
juga terbunuh.
Tidak ketinggalan Demang Ploso pun ikut mengungsi. Demang Ploso
adalah demang yang saat itu hidup dijaman tersebut, beliau mempunya Abdi
Kinasih yang sangat setia. Dari abdi itulah legenda Selokambang ini ada.
Abdi Kinasih mencari Demang Ploso yang saat itu berpencar
dalam pengungsian. Di rumah Demang Ploso sudah tidak berpenghuni maka Abdi
Kinasih hanya bisa mengamankan barang-barang Demang Ploso yang sangat berharga.
Dengan memanggul barang tersebut Abdi Kinasih meninggalkan
tempat tersebut dengan tujuan mencari dimana Demang Ploso dan keluarganya
mengungsi. Semantara Abdi Kinasih belum bertemu dengan tuannya, dia ingin
menitipkan barang yang dibawanya ke tempat yang ama yaitu tempat Mpu Teposono
di Padepokan Teposono (Tepo artinya Topo, Sono artinya tempat; Teposono artinya
tempat bertapa yang banyak ilmunya).
Mereka berunding untuk menyimpan barang dengan janji jika
Abdi Kinasih sudah bertemu dengang Demang Ploso barang itu akan diambil
kembali. Bersama Mpu Teposono, lima cantriknya dan Abdi Kinasih mencari tempat
untuk menyimpan barang tersebut.
Di sekat pohon besar di sekitar danau kecil yang ada di
daerah itulah mereka akan menyimpan barang tersebut yang berupa cepu-cepu yang
isinya perhiasan berharga. Kebetulan di dekat pohon tersebut ada sebongkah bati sebesar kerbau, di situlah
mereka akan menyimpannya. Batu itu tidak bisa diangkat meskipun dengan cara
apapun sehingga mereka menyerah dan mengadukan hal tersebut kepada Mpu
Teposono.
Mpu Teposono segera memerintahkan supaya mereka menjauhkan
diri dari batu besar itu. Sang Mpu masuk ke dalam biliknya mengambil Keris Aji
Pameleng dan bersemedi meminta kepada Yang Maha Agug agar batu tersebut itu
bisa terangkat.
Berdebar
hati mereka menanti apa yang akan terjadi, tidak lama terdengarlah suara
gemuruh dari dalam batu dan timbullah lubang kecil dari batu itu, berjuta-juta
pasir tersembur dari lubang tersebut.
Mpu Teposono
menghentikan semedinya dan keluar sambil membawa tongkat gemilingnya
menghampiri batu yang sudah tidak menyemburkan pasir lagi diikuti para cantrik
dan abdi kinasih yang masih berdebar-debar.
Tongkat
gemiling Mpu Teposono dibuat untuk membuat batu besar itu ke tengah danau.
Anehnya batu besar itu dengan ringannya meluncur ke tengah danau. Batu itu
terapung-apung tertiup angin, sedangkan Abdi Kinasih dan beberapa cantrik
menggali lubang bekas batu itu berada dan menyimpan cepu-cepu itu. Setelah itu
abdi kinasih meneruskan perjalanan mencari tuannya ke daerah pengungsian.
Itulah kisah
legenda asal muasal dari lokasi yang kini menjadi Pemandian Selokambang. Semoga,
pemandian ini tetap terjaga keasliannya agar dapat dinikmati oleh anak cucu
kita dan tentunya menjadi sarana terapi alami untuk meningkatkan kesehatan
warga yang mengunjunginya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar