Segalanya tentang Inspirasi, Kesehatan & Lifestyle


Sabtu, 29 Agustus 2020

Terapi Rematik Alami Pemandian Selokambang di Lumajang

| Sabtu, 29 Agustus 2020
Selokambang
Suasana Selokambang Lumajang (IG)

Masa pandemi seperti sekarang, objek wisata alam menjadi pilihan yang tepat untuk menghilangkan rasa penat, jenuh bahkan mengusir kebosanan. Tidak hanya itu, selain mengusir penat juga dapat sebagai alternatif sebagai terapi.

Salah satunya yakni objek wisata Pemandian Selokambang di Lumajang. Wisata alam Selokambang merupakan salah satu destinasi wisata legenda yang dimiliki Lumajang, Jatim. Sebab, wisata tersebut konon berasal dari danau kecil yang terus melebar akibat batu apung yang mengambang di atasnya. Pemandian tersebut juga dipercaya bisa menyembuhkan sejumlah penyakit dengan cara terapi.

Meski hari biasa, pemandian alam ini tetap ramai pengunjung. Jernih dan alaminya air menjadi pemikat wisatawan untuk pergi ke sana. Bahkan, sebagian orang mempercayainya sebagai salah satu terapi kulit hingga linu-linu.

Menelusuri serta menuju ke lokasi pemandian tidak begitu sulit, sekitar 7 kilometer dari jantung kota. Butuh waktu kurang lebih 15 menit untuk bisa sampai ke sana. Bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Tempatnya yang luas dan banyaknya destinasi wisata ini sangat cocok dijadikan tempat liburan keluarga.

Bagi masyarakat yang mencintai suasana alam, pemandian ini menjadi solusinya. Rimbunnya pepohonan sekitar kolam pemandian menyelimuti pandangan mata. Sangat nyaman digunakan sebagai tempat beristirahat dari penatnya bekerja. Bisa duduk-duduk di pelataran atas kolam, hingga di bibir kolam.

Belum lagi, adanya penghijauan taman di sekitar kolam hingga tersedianya kolam kecil khusus ikan koi. Termasuk ada penangkaran beberapa hewan. Kondidi itu menguatkan gambaran suasana berlibur ke tempat ekowisata.

Tampak beberapa orang terlihat selesai berenang dan mandi di kolang utama yang berada di sisi barat dan timur. Airnya pun jernih dan pastinya segar. Seakan mandi air dari sumbernya.

Dikutip dari tadatoday[dot]com, segar dan jernihnya air di Pemandian Selokambang dapat dimanfaatkan sebagai terapi rematik. “Kalau sudah berenang di sini linu-linu Saya hilang,” ungkap warga +62 yang sering mengalami linu-linu, dan menjadikan Pemandian Selokambang sebagai obat alternatif dirinya bersama-sama warga lainnya yang rutin terapi tiga kali seminggu.

Soal tempat yang alami, memang patut menjadi tujuan wisata alam pilihan. Udara di sekitar lokasi juga masih bersih. Pohon yang besar mengelilingi pemandian menjadi salah satu efek dari suasana yang tersaji. Masyarakat tidak hanya bisa menikmati segarnya air melainkan pula udaranya yang juga dapat digunakan sebagai terapi kesehatan agar hidup lebih sehat.

Keberadaan Pemandian Selokambang tak lepas dari legenda puluhan tahun silam. Seperti dikutip dari wisatalumajang[dot]com, bahwa tempat ini diberi nama Selokambang (Selo artinya batu, kambang artinya terapung).

Dikisahkan, pada puluhan tahun telah berlalu Mpu Toposono telah meninggal, para cantrik kembali ke rumah masing-masing, danau kecil tempat terapung itu semakin melebar, batu terapung itu lama-kelamaan habis terguyur oleh air hujan. Tinggallah danau yang sering dikunjungi penduduk digunakan untuk mandi.

Sebelumnya, kira-kira 700 tahun silam wilayah yang sekarang ini disebut Lumajang diperintah oleh Adipati Wiraraja sebagai hadiah dari Raja Majapahit kepada Arya Wiraraja yang telah banyak berjasa kepada Majapahit.

Kediaman Arya Wiraraja oleh benteng yang dipakai oleh prajurit Kadipaten berlatih keprajuritan dan saat ini daerah tersebut kita namakan Desa Biting (asal kata Biteng artinya benteng).

Setelah 35 hari Adipati Arya Wiraraja meninggal, daerah itu diserang oleh prajurit Majapahit yang saat itu masyarakat Biting tidak mengadakan perlawanan sama sekali, akhirnya mereka mengungsi keluar daerah yang mereka anggap aman di antara hutan-hutan kecil sekitar daerah tersebut.

Saat ini daerah hutan itu dinamakan Kabonarang, sedangkan daerah bendungan yang juga di sekitar hutan tersebut sekarang ini kita sebut Dawuhan Lor (Dawuhan artinya bendungan yang letaknya di sebelah utara desa itu). Diceritakan pula bahwa pada saat itu keluarga Mpu Nambi (putra Arya Wiraraja) juga terbunuh.

Tidak ketinggalan Demang Ploso pun ikut mengungsi. Demang Ploso adalah demang yang saat itu hidup dijaman tersebut, beliau mempunya Abdi Kinasih yang sangat setia. Dari abdi itulah legenda Selokambang ini ada.

Abdi Kinasih mencari Demang Ploso yang saat itu berpencar dalam pengungsian. Di rumah Demang Ploso sudah tidak berpenghuni maka Abdi Kinasih hanya bisa mengamankan barang-barang Demang Ploso yang sangat berharga.

Dengan memanggul barang tersebut Abdi Kinasih meninggalkan tempat tersebut dengan tujuan mencari dimana Demang Ploso dan keluarganya mengungsi. Semantara Abdi Kinasih belum bertemu dengan tuannya, dia ingin menitipkan barang yang dibawanya ke tempat yang ama yaitu tempat Mpu Teposono di Padepokan Teposono (Tepo artinya Topo, Sono artinya tempat; Teposono artinya tempat bertapa yang banyak ilmunya).

Mereka berunding untuk menyimpan barang dengan janji jika Abdi Kinasih sudah bertemu dengang Demang Ploso barang itu akan diambil kembali. Bersama Mpu Teposono, lima cantriknya dan Abdi Kinasih mencari tempat untuk menyimpan barang tersebut.

Di sekat pohon besar di sekitar danau kecil yang ada di daerah itulah mereka akan menyimpan barang tersebut yang berupa cepu-cepu yang isinya perhiasan berharga. Kebetulan di dekat pohon tersebut  ada sebongkah bati sebesar kerbau, di situlah mereka akan menyimpannya. Batu itu tidak bisa diangkat meskipun dengan cara apapun sehingga mereka menyerah dan mengadukan hal tersebut kepada Mpu Teposono.

Mpu Teposono segera memerintahkan supaya mereka menjauhkan diri dari batu besar itu. Sang Mpu masuk ke dalam biliknya mengambil Keris Aji Pameleng dan bersemedi meminta kepada Yang Maha Agug agar batu tersebut itu bisa terangkat.

Berdebar hati mereka menanti apa yang akan terjadi, tidak lama terdengarlah suara gemuruh dari dalam batu dan timbullah lubang kecil dari batu itu, berjuta-juta pasir tersembur dari lubang tersebut.

Mpu Teposono menghentikan semedinya dan keluar sambil membawa tongkat gemilingnya menghampiri batu yang sudah tidak menyemburkan pasir lagi diikuti para cantrik dan abdi kinasih yang masih berdebar-debar.

Tongkat gemiling Mpu Teposono dibuat untuk membuat batu besar itu ke tengah danau. Anehnya batu besar itu dengan ringannya meluncur ke tengah danau. Batu itu terapung-apung tertiup angin, sedangkan Abdi Kinasih dan beberapa cantrik menggali lubang bekas batu itu berada dan menyimpan cepu-cepu itu. Setelah itu abdi kinasih meneruskan perjalanan mencari tuannya ke daerah pengungsian.

Itulah kisah legenda asal muasal dari lokasi yang kini menjadi Pemandian Selokambang. Semoga, pemandian ini tetap terjaga keasliannya agar dapat dinikmati oleh anak cucu kita dan tentunya menjadi sarana terapi alami untuk meningkatkan kesehatan warga yang mengunjunginya. ***

 

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar